MAKALAH
AGRESI MILITER BELANDA I DAN II
D
i
s
u
s
u
n
oleh :
Tim Propaganda
1. Ayu Lestari
2. Nur Magfira
SMK NEGERI 1 BANTAENG
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata pelajaran Sejarah Indonesia dengan judul “Agresi Militer Belanda 1 dan 2”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Bantaeng, 27 Maret 2019
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Konferensi
Malino yang bertujuan untuk membentuk Negara-negara federal didaerah yang baru
diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda yang diselenggarakan
pada tanggal 15-26 Juli 1946. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka
diselenggarakan juga Konferensi Pangkal Pinang pada tanggal 1 Oktober 1946
Agresi Militer
Belanda I, yang juga hampir pada waktu yang bersamaan, juga terus mengirim
pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian kadar permusuhan antara kedua
belah pihak semakin meningkat. Dan secara ekonomis, Belanda juga berhasil
menciptakan kesulitan bagi RI.
Sampai dengan
Perjanjian Renville yang resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 yang malah
menimbulkan masalah baru, yaitu pembentukan pemerintahan yang tidak sesuai
dengan yang terdapat dalam perjanjian Linggarjati.
Pada bulan-bulan
Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan-perundingan hingga disepakati
suatu gencatan senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di
Linggajati (didekat Cirebon)dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan
Linggajati”. Namun persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua
belah pihak saling tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu sehingga
menimpulkan pertikaian-pertikaian politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi
yang telah dibuat. Tindakan Van Mook membenarkan keragu-raguan pemerintah
dan rakyat Indonesia tentang kesetiaan Belanda dalam melaksanakan persetujuan
Linggajati. Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk
mendatangkan pasukan yang lebih banyak dari negerinya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
tentang Agresi Militer I ?
2. Bagaimana
tentang Agresi Militer II?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Agresi
Militer Belanda 1
1. Latar
Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda1
Perselisihan
pendapat sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam
persetujuan Linggarjati makin memuncak. Belanda tetap mendasarkan tafsir pada
pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan
anggota “commonwealth” dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar
negerinya di urus Belanda.
Di tambah dengan
kesulitan ekonomi negaranya yang kian memburuk, Belanda berusaha menyelesaikan
“masalah Indonesia” dengan cepat. Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan
nota yang merupakan ultimatum dan harus dijawab oleh Pemerintah Republik
Indonesia dalam waktu 14 hari. Pokok-pokok nota tersebut adalah sebagai berikut
:
a.
Membentuk Pemerintahan AD interim
bersama,
b.
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan
lembaga devisa bersama,
c.
Republik Indonesia harus mengirimkan
beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda,
d.
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban
bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda yaitu
gendarmerie (pasukan keamanan) bersama, dan 5. Menyelenggarakan penilikan
bersama atas impor dan ekspor.
Perdana Menteri Syahrir menyatakan kesediaan untuk
mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie
(pasukan keamanan). Jawaban ini mendatangkan reaksi keras dari kalangan
partai-partai politik dan berakibat jatuhnya kebinet Syahrir.
Tujuan utama Agresi Belanda adalah merebut
daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam,
terutama minyak dan juga secara perlahan Belanda ingin menghancurkan RI. Namun
usaha tersebut tidak dilakukannya sekaligus, karena itu pada tahap pertama
Belanda harus mencapai sasaran sebagai berikut:
a. Politik,
yaitu pengepungan ibukota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de
facto RI);
b. Ekonomi,
yaitu merebut daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat
dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera
serta pertambangan di Sumatera);
c. Militer,
yaitu penghancuran TNI. Sebagai kedok kepada dunia internasional, Belanda
menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan
ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van
Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi
terikat dengan Persetujuan Linggarjati.
2. Kronologis
Terjadinya Agresi Militer Belanda 1
Konferensi pers
pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan
pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di
beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara
Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis
agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil
menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera,
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fokus serangan tentara Belanda di tiga
tempat, yaitu Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di
Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran
utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik
gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga
mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah
Westerling dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar.
Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian
Westerling pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini
ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat. Pada
29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan
pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya
ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas
Agustinus Adisucipto Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman
Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.
Serangan yang dilakukan oleh Belanda
dilatarbelakangi oleh tidak dikabulkannya tuntutan Belanda. Pasukan bersenjata
Belanda dengan bantuan angkatan udara yang kuat, menyebar ke daratan dari
pangkalan pelabuhan laut mereka di Jawa dan Sumatra. Mereka menyusup ke dalam
wilayah Republik. Dalam waktu dua minggu, Belanda sudah menguasai kebanyakan
kota besar dan kota-kota kecil utama di Jawa Barat dan Jawa Timur, sebagian
hubungan-hubungan komunikasi utama di antara kota-kota tersebut, dan telah
menduduki pelabuhan-pelabuhan perairan laut dalam Republik lainnya, yang
terletak di Jawa. Selain itu mereka berhasil menguasai daerah-daerah penghasil
minyak yang berharga di sekitar kota Palembang serta pelabuhan-pelabuhan utama
di pantai Sumatra Barat. Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah
di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota
pelabuhan, perkebunan dan pertambangan. Agresi terbuka Belanda pada tanggal 21
Juli 1947 menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia.
3. Upaya
Penyelesaian Agresi Militer Belanda 1
Pada tanggal 28
Juli, India melalui perdana menteri Nehru mengumumkan bahwa India akan
menyerahkan situasi Indonesia kepada PBB. Dua hari kemudian, India dan
Australia membawa pertikaian antara Indonesia dan Belanda ke hadapan PBB.
Austrlia meminta campur tangan PBB dengan alasan bahwa saat itu sudah terjadi
suatu pelanggaran perdamaian, sedangkan alasan India adalah pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional berada dalam bahaya. Australia
mengusulkan suatu resolusi yang menyerukan agar Belanda dan Indonesia segera
menghentikan pertempuran, dan menyerahkan pertikaian mereka kepada wasit pihak
ketiga seperti yang disebutkan dalam persetujuan Linggartjati.
Tanggal 1
Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua
belah pihak yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947. Penghentian permusuhan
ini dilakukan dengan dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN). Pemerintah Indonesia
meminta Australia untuk menjadi anggota komisi, sedangkan Belanda memilih
Belgia. Kedua negara sepakat memilih Amerika Serikat. Australia diwakili oleh
Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zealand, dan Amerika diwakili oleh Dr.
Frank Graham, untuk melaksanakan tugas tersebut Komisi Tiga Negara mengadakan
pertemuannya di Sydney pada tanggal 20 Oktober 1947. Dan pada tanggal 8
Desember, KTN mengadakan sidang resminya yang pertama dengan delegasi Republik
dan delegasi Belanda dalam wilayah yang netral, yaitu di geladak kapal Renville
yang berlabuh di pelabuhan Batavia. KTN berhasil mempertemukan kembali kedua
belah pihak untuk menandatangani perstujuan genjatan senjata dengan
prinsip-prinsip politik yang telah disetujui bersama dengan disaksikan KTN di
atas kapal Renville pada 17 Januari 1948.
B.
Agresi
Militer Belanda 2
1. Latar
Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda 2
Perundingan-perundingan
yang dilakukan di bawah pengawasan KTN selalu menemui jalan buntu, sebab
Belanda sengaja mengemukakan hal-hal yang tidak mungkin diterima Republik
Indonesia, seperti penafsiran “Garis Van Mook” sebagai garis demarkasi antara
daerah yang masuk kekuasaan Republik dan Daerah yang menjadi kekuasaan Belanda,
serta masalah pembentukan Pemerintahan adinterim Negara Indonesia Serikat.
Tawaran rencana
KTN yang terkenal dengan “Usul Chritchley-Dobuis” (anggota KTN dari Australia
dan Amerika) ditolak pula oleh pihak Belanda karena tidak menguntungkan.
Pemerintah Belanda memperhitungkan pula bahwa pertikaian yang terjadi di
kalangan Republik Indonesia sebagai akibat dari perjanjian Renville,
kegoncangan di kalangan TNI sehubungan dengan adanya rekontruksi dan
rasionalisasi, serta penumpasan pemberontakan PKI Madiun yang menelan daya
upaya dan kekuatan Republik, memberikan kesempatan bagi Belanda untuk lebih
menekan Republik Indonesia.
Dalam situasi
yang gawat ini, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Bung Hatta selaku
pimpinan pemerintahan meminta kembali KTN untuk menyelenggarakan perundingan
dengan Belanda, bahkan dengan syarat “kesediaan Republik Indonesia mengakui
kedaulatan Belanda selama masa peralihan”. Uluran tangan tersebut dijawab oleh
Belanda pada tanggal itu juga bahwa perundingan tidak akan diadakan lagi
apabila tidak didasarkan pada tuntutan-tuntutan yang diajukan Belanda.
2. Kronologis
Terjadinya Agresi Militer Belanda 2
Pada
21.00 tanggal 18 Desember 1948 pihak Belanda menyampaikan surat kepada Jusuf
Ronodipuro, liaison officer delegasi RI di Jakarta. Isinya, terhitung mulai
pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 Belanda tidak lagi terikat dengan
persetujuan Renville dan perjanjian genjatan senjat. Berita ini tidak berhasil
disampaikan ke pemerintahan RI di Yogyakarta pada malam itu juga karena
dihalangi oleh Belanda. Berita pertama tentang Belanda memutuskan Perjanjian
Genjatan Senjata Renville diterima di Yogyakarta pada jam 5.30 berupa suatu
serangan pesawat pembom Belanda (Mitchel buatan Amerika) di atas lapangan udara
terdeka. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan
pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu
beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam
keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI
bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda
di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit.
Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta
menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain
di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak
tanggal 18 Desember malam hari.
Menjelang
tengah petang, setelah mengepung kota, Brigade Marinir Belanda, dibantu oleh
sejumlah besar pasukan Ambon dari KNIL berhasil mencapai pusat kota ke istana
Presiden. Taktik cepat yang digunakan Belanda berhasil menangkap Soekarno,
Hatta, Sjahrir, dan separuh anggota kabinet Republik. Sebelum tertangkap,
kabinet sempat bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa Presiden dan
Wakil Presiden tidak akan meninggalkan ibukota. Hal ini dikarenakan tidak
adanya pasukan yang mengawal mereka ke luar kota. Selain itu, apabila tetap di
dalam kota, hubungan dengan KTN masih dapat dilakukan dan dengan perantaraan
KTN, perundingan dengan Belanda dapat dibuka kembali. Keputusan yang lain dari
sidang pada tanggal 19 Desember 1948 adalah memberikan mandat kepada Menteri
Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi
untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra.
Mandat juga diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N, Palar
untuk membentuk exile government di luar negeri bila usaha Sjafruddin
Prawiranegara gagal.
3.
Upaya Penyelesaian Agresi Militer
Belanda 2
Pada
tanggal 20 Desember 1948 pagi, Belanda meminta agar Soekarno memerintahkan
pasukan Republik menghentikan perlawanan. Soekarno menolak dan pada tanggal 22
Desember ia, Hatta, Sjahrir, Mr. Assaat, Mr Abdul Gafar Pringgodigdo, H Agoes Salim,
Mr Ali Sastroamodjojo, dan Komodor Udara Suriadarma diterbangkan Belanda ke
Pulau Bangka. Di sana, Soekarno, Sjahrir, dan Salim dipisahkan dengan yang
lainnya dan diterbangkan ke Berastagi, kemudian ke Prapat dan Danau Toba.
Jatuhnya
Yogyakarta ke tangan Belanda dan tertangkapnya pemimpin negara yang kemudian di
asingkan membuat Penglima Besar Soedirman Berangkat ke luar kota untuk memimpin
perang gerilya. Sesuai dengan rencana, Angakatan Perang mengundurkan diri ke
luar kota untuk melakukan perang gerilya. Perjalanan bergerilya selama delapan
bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak
jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras.
Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke
Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Kolonel
A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana
pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1
Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari
daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan
membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi
medan gerilya yang luas.Pasukan yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan
Renville melakukan wingate ke daerah asal mereka. Pasukan Siliwangi melakukan
long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. TNI membentuk daerah-daerah
pertahanan (wehrkreise) di luar kota. Setelah berhasil melakukan konsolidasi,
TNI mulai melakukan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pukulan yang pertama
adalah garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Mereka merusak jaringan telepon,
jaringan rel kereta api, dan konvoi-konvoi Belanda di hadang dan dihancurkan.
Situasi
perang mulai berbalik. TNI yang pada awalnya bertahan mulai beralih dengan
taktik menyerang. Mereka tidak lagi hanya mencegat dan menyerang konvoi-konvoi
Belanda serta menyerang pos-pos terpencil, tetapi mereka juga menyerang
kota-kota yang diduduki oleh Belanda. Serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal
1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letkol Soeharto berhasil dilakukan selama enam
jam. Hal ini membuktikan kepada dunia luar bahwa TNI dan Republik Indonesia
masih eksis.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agresi Militer Belanda I adalah operasi
militer belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang
dilaksanakan dari 21 juli 1947 sampai 5 agustus 1947. Operasi militer ini
merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka
mempertahankan penafsiran Belanda atas perundingan Linggarjati. Dari sudut
pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran
Linggarjati. Agresi Militer Belanda II dimulai ketika pihak belanda yang tetap
bersikukuh menguasai indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar perjanjian
yang telah disepakati. Bahkan pihak belanda menuduh jika pihak indonesia tidak
menjalankan isi perundingan Renville. Oleh karena itu pihak TNI dan pemerintah
indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu belanda akan melakukan aksi
militernya untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata.
B. Saran
Adapun dari penulisan makalah
ini kami selaku penulis menyarankan kepada generasi muda agar tetap mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dengan cara ikut berpartisipasi dalam mengisi kemerdekaan
Indonesia dan mencontoh semangat para pahlawan terdahulu dalam kehidupan
sehari-hari. Seluruh warga Indonesia wajib menghargai dan menghormati jasa-jasa
para pahlawan Indonesia. Dan satu lagi jangan pernar melihat orang dari apa
yang dia berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar