Senin, 26 April 2021

Makalah Peristiwa Kembalinya Yogyakarta Ke Negara Kesatuan (Sejarah Indonesia)

 

MAKALAH

PERISTIWA KEMBALINYA YOGYAKARTA KE NEGARA KESATUAN

 

 


                                                   

Disusun oleh :

 

Tim R. A Kartini

1. Putri

2. Anti

 

SMK NEGERI 1 BANTAENG




KATA PENGANTAR

 

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Peristiwa Kembalinya Yogyakarta ke Negara Kesatuan”.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita kirimkan untuk junjungan nabi besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan beberapa tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia.  

Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga rampungnya makalah ini. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.

Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan pembaca untuk memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan makalah kami ini.

 

Bantaeng, 26 Maret 2019

 

 

 

BAB I

PNDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kemerdekaan Republik Indonesia memang sudah diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Tapi sejak itu belum juga Belanda angkat kaki dari bumi Nusantara. Baru pada 29 Juni 1949, segenap rakyat Indonesia bisa mengawali kebebasan dari cengkeraman Belanda.

Kota Yogyakarta pernah menjadi Ibu Kota RI selama hampir 2 tahun. Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta dikarenakan keamanan Jakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia pada saat itu terancam. Belanda bahkan bisa menduduki Jakarta pada 29 September 1945. Kota Yogyakarta resmi menjadi Ibu Kota Republik Indonesia pada tanggal 4 Januari 1946.

Peristiwa Yogya Kembali sangat erat kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam mempertahankan kemerdakaan RI. Dimulai dari peristiwa Agresi Militer Belanda Kedua sampai Serangan Umum 1 Maret 1949.

Sebagai pelaksanaan dari perjanjian Roem-Royen, maka pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta dan TNI masuk ke Yogyakarta. Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta dikenal dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno danmWakil Presiden Moh. Hatta ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.

                                                      

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:

1.         Apa itu perjanjian Roem Royen?

2.         Apa isi dari perjanjian Roem Royen?

3.         Bagaimana kronologis dari peristiwa Yogyakarta kembali?

4.         Siapa saja kelompok pimpinan yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta?

 



BAB II

PEMBAHASAN

A.      Perjanjian Roem Royen

Diadakannya perjanjian Roem Royen karena adanya serangan tentara Belanda ke Yogyakarta dan adanya penahanan pemimpin RI, serta mendapatkan kecamanan dari dunia Internasional.

Perjanjian Roem Royen diselenggarakan mulai dari 14 April sampai 7 mei 1948, pihak Indonesia di wakili oleh Moh. Roem beberpa anggota seperti Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary.

Dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan Belanda mendapat kecaman dan reaksi dari Amerika Serikat dan Inggris, serta Dewan PBB. Melihat reaksi mliter Belanda sehingga PBB membuat kewenangan KTN.

Sejak itu KTN berubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia). UNCI sendiri dipimpin oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat dan juga dibantu Critchley Australia dan juga Harremans dari Belgia.

Pada tanggal 23 Maret 1949 pihak DK-PBB perintahkan UNCI agar membantu perundingan antara pihak Republik Indonesia dengan Belanda.

P          ada tanggal 17 April 1949 perundingan Roem Royen dimulai dan bertempat di Jakarta. UNCI sebagai penengah dan diketuai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat wakil UNCI.

Perundingan berikutnya Indonesia diperkuat dengan hadirnya Drs Moh Hatta dan juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Perjanjian Roem Royen mulai ditandatangani dan nama perjanjian ini diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Royen.

Isi Perjanjian Roem Royen di Hotel Des Indes di jakarta, antara lain:

1.      Tentara bersenjata Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya.

2.      Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

3.      Kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta

4.      Tentara bersenjata Belanda harus mengehentikan operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik.

5.      Kedaulatan RI diserahkan secara utuh tanpa syarat.

6.      Dengan menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari Negara Indonesia Serikat.

7.      Belanda memberikan hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada pihak Indonesia.

B.       Kronologis Dari Peristiwa Yogya Kembali.

Peristiwa Yogya Kembali sangat erat kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam mempertahankan kemerdakaan RI. Dimulai dari peristiwa Agresi Militer Belanda Kedua sampai Serangan Umum 1 Maret 1949. Berikut kronologis singkat dari peristiwa Yogya Kembali.

1.      Pada tanggal 18 Desember 1948 : Dr. Beel menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville.

2.      19 Desember 1948 : Belanda melancarkan agresinya yang kedua dengan menggempur ibu kota RI, Yogyakarta. Dalam peristiwa ini, pemimpin RI ditawan oleh Belanda dan Yogyakarta dikuasai oleh Belanda.

3.      19 Desember 1948 : Didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. PDRI adalah pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat.

4.      23 Desember 1948 : PDRI bersedia memerintahkan penghentian tembak menembak dan memasuki meja perundingan.

5.      28 Januari 1949 : Belanda tidak mengindahkan Resolusi DK PBB tentang penghentian tembak menembak karena yakin RI hanya tinggal namanya saja.

6.      1 Maret 1949 :  TNI melakukan serangan besar-besaran terhadap Belanda di Yogyakarta. Peristiwa ini dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949 yg berlangsung selama 6 jam. Pasukan Belanda dapat ditarik dari Yogyakarta.

7.      7 Mei 1949  : Diadakan Persetujuan Roem-Royen oleh ketua delegasi Indonesia Mr. Moh. Roem dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Royen. Salah satu pernyataan dari Dr. Van Royen dalam persetujuan ini adalah “Belanda menyetujui kembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta.”

8.      29 Juni 1949 : Ditariknya tentara pendudukan Belanda dari ibukota RI Yogyakarta.

9.      6 Juli 1949 : Setelah kota Yogyakarta dikuasai penuh oleh TNI, barulah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta.

10.  10 Juli 1949 : Sedangkan Panglima Besar Jendral Sudirman baru masuk ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949. Peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Yogya Kembali.

 

C.      Kelompok Pimpinan yang Ditunggu untuk Kembali ke Yogyakarta

Ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta. kelompok pertama adalah Kelompok Bangka. Kedua adalah kelompok PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga adalah angkatan perang dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman.

 

1.      Kelompok Bangka

Kelompok Bangka yang terdiri dari Sukarno, Hatta, dan rombongan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949, kecuali Mr. Roem yang harus menyelesaikan urusannya sebagai ketua delegasi di UNCI, masih tetap tinggal di Jakarta.

 

2.      Kelompok PDRI

Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh Sultan Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr. Tadjuddin serta pembesar RI lainnya. Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman memasuki Desa Wonosari.

3.      Kelompok Angkatan Perang

Rombongan Jenderal Sudirman disambut kedatangannya oleh Sultan Hamengkubuwono IX dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Panglima Yogya, dan dua orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman dan Frans Sumardjo dari Ipphos. Saat menerima rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman berada di rumah lurah Wonosari.

 

 

 

 

 

 

 

Jenderal Sudirman dengan ditandu memasuki kota Yogyakarta setelah melakukan perang gerilya.

 

Saat itu beliau sedang mengenakan pakaian gerilya dengan ikat kepala hitam. Pada esok harinya rombongan Pangeran Besar Jenderal Sudirman dibawa kembali ke Yogyakarta. Saat itu beliau sedang menderita sakit dengan ditandu dan diiringi oleh utusan dan pasukan beliau dibawa kembali ke Yogyakarta. Dalam kondisi letih dan sakit beliau mengikuti upacara penyambutan resmi dengan mengenakan baju khasnya yaitu pakaian gerilya.

Upacara penyambutan resmi para pemimpin RI di Ibukota dilaksanakan dengan penuh khidmat pada 10 Juli. Sebagai pimpinan inspektur upacara adalah Syafruddin Prawiranegara, didampingi oleh  Panglima Besar Jenderal Sudirman dan para pimpin RI yang baru saja kembali dari pengasingan Belanda. Pada 15 Juli 1949, untuk pertama kalinya diadakan sidang kabinet pertama yang dipimpin oleh Moh. Hatta.

Pada kesempatan itu Syafruddin Prawiranegara menyampaikan kepada Presiden Sukarno tentang tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PDRI selama delapan bulan di Sumatera Barat. Pada kesempatan itu pula Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI Sukarno. Dengan demikian maka berakhirlah PDRI yang selama delapan bulan memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi RI.

 

 

 BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Disetujuinya Perjanjian Roem Royen pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu TNI masuk ke Yogyakarta. Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta dikenal dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949..

Peristiwa Yogya Kembali menekankan nilai kewarganegaraan, yakni memandang bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban tertentu sebagai seorang warga negara. Keberhasilan perjuangan tersebut tidak lain karena terjalinnya kekompakan antara tentara angkatan bersenjata dan rakyat yang mempunyai semangat pantang menyerah, ulet, gigih, rela berkorban.

Peristiwa ini merupakan wujud nyata adanya persatuan dan kesatuan. Maka semangat dan jiwa dari nilai-nilai keteladanan tersebut patut untuk kita warisi dan diteladani, hingga saat ini guna mengisi alam kemerdekaan didalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 


Makalah Agresi Militer 1 dan 2 (Sejarah Indonesia)

 

MAKALAH

AGRESI MILITER BELANDA I DAN II

 

 


                                                   

D

i

s

u

s

u

n


 oleh :

 

Tim Propaganda

1.    Ayu Lestari

2.    Nur Magfira

 

SMK NEGERI 1 BANTAENG




KATA PENGANTAR

 

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata pelajaran Sejarah Indonesia dengan judul “Agresi Militer Belanda 1 dan 2”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Bantaeng, 27 Maret 2019



BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar belakang

Konferensi Malino yang bertujuan untuk membentuk Negara-negara federal didaerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda yang diselenggarakan pada tanggal 15-26 Juli 1946. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan juga Konferensi Pangkal Pinang pada tanggal 1 Oktober 1946

Agresi Militer Belanda I, yang juga hampir pada waktu yang bersamaan, juga terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Dan secara ekonomis, Belanda juga berhasil menciptakan kesulitan bagi RI.

Sampai dengan Perjanjian Renville yang resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 yang malah menimbulkan masalah baru, yaitu pembentukan pemerintahan yang tidak sesuai dengan yang terdapat dalam perjanjian Linggarjati.

Pada bulan-bulan Oktober 1946 telah dilaksanakan perundingan-perundingan hingga disepakati suatu gencatan senjata di Jawa dan Sumatera. Pada bulan November 1946, di Linggajati (didekat Cirebon)dilaksanakan persetujuan yaitu “persetujuan Linggajati”. Namun persetujuan perdamaian ini hanya berlangsung singkat. Kedua belah pihak saling tidak mempercayai dan mengesahkan persetujuan itu sehingga menimpulkan pertikaian-pertikaian politik yang sengit mengenai konsesi-konsesi yang telah dibuat. Tindakan Van Mook membenarkan keragu-raguan pemerintah dan rakyat Indonesia tentang kesetiaan Belanda dalam melaksanakan persetujuan Linggajati. Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan yang lebih banyak dari negerinya.

 

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana tentang Agresi Militer I ?

2.      Bagaimana tentang Agresi Militer II?





 BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Agresi Militer Belanda 1

1.      Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda1

Perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggarjati makin memuncak. Belanda tetap mendasarkan tafsir pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota “commonwealth” dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya di urus Belanda.

Di tambah dengan kesulitan ekonomi negaranya yang kian memburuk, Belanda berusaha menyelesaikan “masalah Indonesia” dengan cepat. Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan nota yang merupakan ultimatum dan harus dijawab oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam waktu 14 hari. Pokok-pokok nota tersebut adalah sebagai berikut :

a.         Membentuk Pemerintahan AD interim bersama,

b.         Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama, 

c.         Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda, 

d.        Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda yaitu gendarmerie (pasukan keamanan) bersama, dan 5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor.

 

Perdana Menteri Syahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie (pasukan keamanan). Jawaban ini mendatangkan reaksi keras dari kalangan partai-partai politik dan berakibat jatuhnya kebinet Syahrir.

Tujuan utama Agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak dan juga secara perlahan Belanda ingin menghancurkan RI. Namun usaha tersebut tidak dilakukannya sekaligus, karena itu pada tahap pertama Belanda harus mencapai sasaran sebagai berikut:

a.       Politik, yaitu pengepungan ibukota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI); 

b.      Ekonomi, yaitu merebut daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera serta pertambangan di Sumatera); 

c.       Militer, yaitu penghancuran TNI. Sebagai kedok kepada dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati.

 

2.      Kronologis Terjadinya Agresi Militer Belanda 1

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Serangan yang dilakukan oleh Belanda dilatarbelakangi oleh tidak dikabulkannya tuntutan Belanda. Pasukan bersenjata Belanda dengan bantuan angkatan udara yang kuat, menyebar ke daratan dari pangkalan pelabuhan laut mereka di Jawa dan Sumatra. Mereka menyusup ke dalam wilayah Republik. Dalam waktu dua minggu, Belanda sudah menguasai kebanyakan kota besar dan kota-kota kecil utama di Jawa Barat dan Jawa Timur, sebagian hubungan-hubungan komunikasi utama di antara kota-kota tersebut, dan telah menduduki pelabuhan-pelabuhan perairan laut dalam Republik lainnya, yang terletak di Jawa. Selain itu mereka berhasil menguasai daerah-daerah penghasil minyak yang berharga di sekitar kota Palembang serta pelabuhan-pelabuhan utama di pantai Sumatra Barat. Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan. Agresi terbuka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia.

 

3.      Upaya Penyelesaian Agresi Militer Belanda 1

Pada tanggal 28 Juli, India melalui perdana menteri Nehru mengumumkan bahwa India akan menyerahkan situasi Indonesia kepada PBB. Dua hari kemudian, India dan Australia membawa pertikaian antara Indonesia dan Belanda ke hadapan PBB. Austrlia meminta campur tangan PBB dengan alasan bahwa saat itu sudah terjadi suatu pelanggaran perdamaian, sedangkan alasan India adalah pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional berada dalam bahaya. Australia mengusulkan suatu resolusi yang menyerukan agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan pertempuran, dan menyerahkan pertikaian mereka kepada wasit pihak ketiga seperti yang disebutkan dalam persetujuan Linggartjati.

Tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 1947. Penghentian permusuhan ini dilakukan dengan dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN). Pemerintah Indonesia meminta Australia untuk menjadi anggota komisi, sedangkan Belanda memilih Belgia. Kedua negara sepakat memilih Amerika Serikat. Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zealand, dan Amerika diwakili oleh Dr. Frank Graham, untuk melaksanakan tugas tersebut Komisi Tiga Negara mengadakan pertemuannya di Sydney pada tanggal 20 Oktober 1947. Dan pada tanggal 8 Desember, KTN mengadakan sidang resminya yang pertama dengan delegasi Republik dan delegasi Belanda dalam wilayah yang netral, yaitu di geladak kapal Renville yang berlabuh di pelabuhan Batavia. KTN berhasil mempertemukan kembali kedua belah pihak untuk menandatangani perstujuan genjatan senjata dengan prinsip-prinsip politik yang telah disetujui bersama dengan disaksikan KTN di atas kapal Renville pada 17 Januari 1948.

 

B.       Agresi Militer Belanda 2

1.    Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda 2

Perundingan-perundingan yang dilakukan di bawah pengawasan KTN selalu menemui jalan buntu, sebab Belanda sengaja mengemukakan hal-hal yang tidak mungkin diterima Republik Indonesia, seperti penafsiran “Garis Van Mook” sebagai garis demarkasi antara daerah yang masuk kekuasaan Republik dan Daerah yang menjadi kekuasaan Belanda, serta masalah pembentukan Pemerintahan adinterim Negara Indonesia Serikat.

Tawaran rencana KTN yang terkenal dengan “Usul Chritchley-Dobuis” (anggota KTN dari Australia dan Amerika) ditolak pula oleh pihak Belanda karena tidak menguntungkan. Pemerintah Belanda memperhitungkan pula bahwa pertikaian yang terjadi di kalangan Republik Indonesia sebagai akibat dari perjanjian Renville, kegoncangan di kalangan TNI sehubungan dengan adanya rekontruksi dan rasionalisasi, serta penumpasan pemberontakan PKI Madiun yang menelan daya upaya dan kekuatan Republik, memberikan kesempatan bagi Belanda untuk lebih menekan Republik Indonesia.

Dalam situasi yang gawat ini, akhirnya pada tanggal 13 Desember 1948 Bung Hatta selaku pimpinan pemerintahan meminta kembali KTN untuk menyelenggarakan perundingan dengan Belanda, bahkan dengan syarat “kesediaan Republik Indonesia mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan”. Uluran tangan tersebut dijawab oleh Belanda pada tanggal itu juga bahwa perundingan tidak akan diadakan lagi apabila tidak didasarkan pada tuntutan-tuntutan yang diajukan Belanda.

 

2.      Kronologis Terjadinya Agresi Militer Belanda 2

Pada 21.00 tanggal 18 Desember 1948 pihak Belanda menyampaikan surat kepada Jusuf Ronodipuro, liaison officer delegasi RI di Jakarta. Isinya, terhitung mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 Belanda tidak lagi terikat dengan persetujuan Renville dan perjanjian genjatan senjat. Berita ini tidak berhasil disampaikan ke pemerintahan RI di Yogyakarta pada malam itu juga karena dihalangi oleh Belanda. Berita pertama tentang Belanda memutuskan Perjanjian Genjatan Senjata Renville diterima di Yogyakarta pada jam 5.30 berupa suatu serangan pesawat pembom Belanda (Mitchel buatan Amerika) di atas lapangan udara terdeka. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.

Menjelang tengah petang, setelah mengepung kota, Brigade Marinir Belanda, dibantu oleh sejumlah besar pasukan Ambon dari KNIL berhasil mencapai pusat kota ke istana Presiden. Taktik cepat yang digunakan Belanda berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan separuh anggota kabinet Republik. Sebelum tertangkap, kabinet sempat bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak akan meninggalkan ibukota. Hal ini dikarenakan tidak adanya pasukan yang mengawal mereka ke luar kota. Selain itu, apabila tetap di dalam kota, hubungan dengan KTN masih dapat dilakukan dan dengan perantaraan KTN, perundingan dengan Belanda dapat dibuka kembali. Keputusan yang lain dari sidang pada tanggal 19 Desember 1948 adalah memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran, Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra. Mandat juga diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N, Palar untuk membentuk exile government di luar negeri bila usaha Sjafruddin Prawiranegara gagal.

 

3.        Upaya Penyelesaian Agresi Militer Belanda 2

Pada tanggal 20 Desember 1948 pagi, Belanda meminta agar Soekarno memerintahkan pasukan Republik menghentikan perlawanan. Soekarno menolak dan pada tanggal 22 Desember ia, Hatta, Sjahrir, Mr. Assaat, Mr Abdul Gafar Pringgodigdo, H Agoes Salim, Mr Ali Sastroamodjojo, dan Komodor Udara Suriadarma diterbangkan Belanda ke Pulau Bangka. Di sana, Soekarno, Sjahrir, dan Salim dipisahkan dengan yang lainnya dan diterbangkan ke Berastagi, kemudian ke Prapat dan Danau Toba.

Jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda dan tertangkapnya pemimpin negara yang kemudian di asingkan membuat Penglima Besar Soedirman Berangkat ke luar kota untuk memimpin perang gerilya. Sesuai dengan rencana, Angakatan Perang mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perang gerilya. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.Pasukan yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan Renville melakukan wingate ke daerah asal mereka. Pasukan Siliwangi melakukan long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. TNI membentuk daerah-daerah pertahanan (wehrkreise) di luar kota. Setelah berhasil melakukan konsolidasi, TNI mulai melakukan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pukulan yang pertama adalah garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Mereka merusak jaringan telepon, jaringan rel kereta api, dan konvoi-konvoi Belanda di hadang dan dihancurkan.

Situasi perang mulai berbalik. TNI yang pada awalnya bertahan mulai beralih dengan taktik menyerang. Mereka tidak lagi hanya mencegat dan menyerang konvoi-konvoi Belanda serta menyerang pos-pos terpencil, tetapi mereka juga menyerang kota-kota yang diduduki oleh Belanda. Serangan terhadap kota Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letkol Soeharto berhasil dilakukan selama enam jam. Hal ini membuktikan kepada dunia luar bahwa TNI dan Republik Indonesia masih eksis.

 

 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 juli 1947 sampai 5 agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran Linggarjati. Agresi Militer Belanda II dimulai ketika pihak belanda yang tetap bersikukuh menguasai indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak belanda menuduh jika pihak indonesia tidak menjalankan isi perundingan Renville. Oleh karena itu pihak TNI dan pemerintah indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu belanda akan melakukan aksi militernya untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata.

 

B.     Saran

Adapun dari penulisan makalah ini kami selaku penulis menyarankan kepada generasi muda agar tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan cara ikut berpartisipasi dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan mencontoh semangat para pahlawan terdahulu dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh warga Indonesia wajib menghargai dan menghormati jasa-jasa para pahlawan Indonesia. Dan satu lagi jangan pernar melihat orang dari apa yang dia berikan.